Jumat, Juli 03, 2015

Photoblog : Dibuang Sayang (Sesi Gladi Bersih Tari Kolosal HUT Kabupaten Mahakam Ulu)

Tari Enggang : Alen dan Harai

Tari Seraung : Olivia Trinita

Olivia Trinita


Tari Perang

Pembawa bendera sedang berlatih untuk tampil keesokan hari

Grup penyumpit


Kamis, Juli 02, 2015

Monumen Pemberontakan Tentara PETA di Blitar

"DI TEMPAT INI, PADA TANGGAL 14 FEBRUARI 1945 TEPAT PADA JAM 02.30 DINI HARI BERDENTUMLAH SUARA MORTIR YANG PERTAMA SEBAGAI TANDA DICETUSKANNYA PEMBERONTAKAN TENTARA PETA BLITAR YANG DIPIMPIN SODANCHO SUPRIYADI MELAWAN PENJAJAH JEPANG. BERSAMA DENGAN GERAKAN PASUKAN TERSEBUT DIKIBARKANLAH BENDERA PUSAKA MERAH PUTIH DITIANG BENDERA LAPANGAN APEL TENTARA PETA YANG TERLETAK DI SEBERANG MARKAS DAIDAN."
Demikian isi tulisan yang terpampang di plakat yang terletak di bawah patung 7 pejuang PETA yakni Sodancho Supriyadi, Chudancho dr Soeryo Ismail, Shodancho Soeparjono, Budancho Soedarmo, Shodancho Moeradi, Budancho Halir Mangkoe Dijaya, dan Budancho Soenanto. Di bawah komando Supriyadi, mereka bahu-membahu melawan Jepang. Padahal tentara PETA merupakan bentukan militer Jepang supaya dapat mehanan gempuran dari sekutu. Namun karena muak dengan perlakuan para tentara Jepang kepada rakyat, dicetuskanlah pemberontakan itu. Monumen ini terletak di sebelah selatan Taman Makam Pahlawan, tepatnya di sebuah lapangan di belakang tenda-tenda penjual makanan. Monumen ini sempat mengalami pemugaran dan kemudian diresmikan ulang pada tanggal 14 Februari 2008 yang bertepatan pada hari peringatan Pemberontakan PETA di Blitar.

Desi Dwistratanti Sumadio, rekan satu tim, berfoto dibawah monumen tujuh pejuang PETA

(Tulisan dibuat berdasarkan pengalaman penulis mengikuti program AKU CINTA INDONESIA 2010 oleh Detik.com, beberapa informasi mungkin mengalami perubahan pada saat di re-publish di blog ini)
Link Asli

Rabu, Juli 01, 2015

Goa Tabuhan, Goa Musik

Tak salah kota Pacitan memiliki julukan Kota 1001 Goa, karena memang banyak memiliki goa-goa nan eksotis. Hari ini (08/10/2010) kami, Tim Petualang Jawa Tengah & Yogyakarta, berkesempatan mengunjungi Goa Tabuhan yang berjarak sekitar 25 kilometer dari arah barat kota Pacitan, tepatnya terletak di Desa Wareng, Kecamatan Punung. Akses jalan menuju Goa Tabuhan tergolong mulus beraspal nyaris tanpa hambatan sehingga perjalanan terasa nyaman sambil menikmati suasana pedesaan. Begitu turun dari mobil kami langsung dibuat terkagum-kagum oleh ragam bentuk stalagtit (kerucut di langit-langit) dan stalagmit (kerucut di lantai) di mulut goa. Cukup satu kata untuk menggambarkannya : mempesona! Setelah membayar tiket masuk seharga Rp. 4000/orang, kami segera menaiki anak tangga menuju goa.
Tampak luar Goa Tabuhan

Suasana di dalam goa relatif sejuk. Pengunjung sangat disarankan untuk menyewa senter dari penjaga yang dapat merangkap sebagai tour guide supaya bisa menjelajah goa lebih dalam karena memang relatif agak gelap dan supaya tidak terbentur oleh stalagmit dan stalagtit yang rendah. Tentu tidak mau dong, pulang dengan kepala benjol? Biayanya pun cukup seikhlasnya saja. 
Juntaian stalagtit dan stalagmit di mulut goa

Diyakini pada pada jaman dahulu goa ini dipakai bersembunyi dan bertapa oleh Pangeran Diponegoro beserta pengikutnya. Ini dapat dilihat dari adanya sebuah ruangan kecil yang di ujung goa yang diyakini dipakai sebagai tempat bertapa. Keunikan goa ini yakni disini pengunjung dapat menikmati penampilan para musisi menabuh stalaktit dan stalagmit goa menjadi alunan musik khas Jawa. Sungguh unik dan ajaib, dari sinilah asal nama Goa Tabuhan berasal. Namun itu tidak gratis, pengunjung akan diminta membayar Rp. 70.000 apabila ingin melihat para pemusik tersebut beraksi. Tapi demi melihat keunikan ini, tentu harga tersebut tidak terlalu mahal kan? Hitung-hitung ikut membantu perekonomian masyarakat sekitar. Jangan lewatkan pasar oleh-oleh berupa batu akik di pelataran parkir. Bila pandai menawar Anda bisa mendapat beberapa batu akik dengan harga yang sangat murah.


(Tulisan dibuat berdasarkan pengalaman penulis mengikuti program AKU CINTA INDONESIA 2010 oleh Detik.com, beberapa informasi mungkin mengalami perubahan pada saat di re-publish di blog ini)

Selasa, Juni 30, 2015

The Legendary Malioboro, Jogjakarta



Sejak lama saya memimpikan untuk menyusuri sendiri jalan Malioboro, Yogyakarta. Yang katanya belum lengkap ke Yogyakarta apabila belum datang ke tempat ini. Selama ini hanya mendengar dan melihat di televisi saja mengenai tempat ini. Dan akhirnya kemarin kesempatan itu datang juga. Di suatu siang yang lumayan terik, dikarenakan sedang tidak ada kegiatan di hotel, saya pun diam-diam "kabur" menuju jalan Malioboro yang letaknya ternyata tak jauh dari hotel. Cukup berjalan kaki beberapa meter nampaklah lokasi yang terkenal se-dunia ini. Saya segera susuri deret-deret toko dan lapak-lapak penjual cindermata dan oleh-oleh ini untuk merasakan langsung suasananya dan merekamnya di ingatan sedetail mungkin pengalaman pertama ke Malioboro ini.
Sepanjang mata memandang terdapat toko-toko dan pedagang kaki lima yang sibuk menjajakan dagangannya. Aktivitas jual beli berlangsung dengan riuh dimana para penjual dan pembeli saling tawar menawar harga. Sedangkan di bagian tepi, para tukang becak dengan setia menunggu calon penumpang yang bersedia memakai jasa mereka. Karena sedikit lapar, saya pun singgah sebentar ke penjual bakso lalu kemudian melanjutkan jalan-jalan saya. 
Kemudian nampaklah bangunan besar bernama Malioboro Mall. Wah, tanpa membuang waktu saya segera masuk ke dalamnya untuk menumpang ngadem sejenak. Rupanya sedang ada perlombaan tari disana, hingga suasana menjadi sangat ramai dan padat. Setelah puas keliling mall beberapa saat dan membeli buku, lalu saya kembali keluar untuk menyusuri pinggiran jalan Malioboro. Belum ada barang yang sreg untuk dibeli karena itu saya memutuskan kembali ke hotel. Semoga saja sebelum petualangan saya di Yogyakarta berakhir, saya masih berkesempatan mengunjunginya sekali lagi.



(Tulisan dibuat berdasarkan pengalaman penulis mengikuti program AKU CINTA INDONESIA 2010 oleh Detik.com, beberapa informasi mungkin mengalami perubahan pada saat di re-publish di blog ini)
Link Asli

Senin, Juni 29, 2015

Mengejar Sunset di Candi Ratu Boko



Sore itu, pada saat jam menunjukkan pukul 16.00 kami segera mengarahkan kendaraan menuju Candi Ratu Boko, yang berada kira-kira 3 km di sebelah selatan dari komplek Candi Prambanan, 18 km sebelah timur Kota Yogyakarta atau 50 km barat daya Kota Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia. 

Diperkirakan candi ini dibangun pada abad ke-8 pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran, salah satu keturunan Wangsa Syailendra. Sedangkan fungsinya diduga sebagai tempat menyepi dan peristirahatan. Dengan tiket seharga Rp. 30.000, pengunjung mendapatkan transportasi gratis dari Candi Prambanan menuju Candi Ratu Boko. 

Sang mentari telah hampir terbenam
Tujuan kami ke candi ini pada sore hari yakni untuk melihat terbenamnya matahari atau sunset dalam bahasa inggris, yang konon kabarnya pemandangan sunset dari situs Candi Ratu Boko merupakan yang terindah se-Asia Tenggara. Tak ingin terlambat, begitu sampai di parkiran kami setengah berlari menaiki anak-anak tangga menuju candi yang posisinya berada di atas bukit. Untungnya matahari masih menggantung di langit, belum terbenam. Segeralah kami menuju spot terbaik yang berada di Candi Pembakaran yang posisinya agak tinggi. Dan benar saja, pemandangan sunset dari Candi Boko benar-benar indah! Dengan cuaca yang cerah, matahari terlihat bulat di langit yang berwarna lembayung. Tentu saja momen ini tak akan dilewatkan tanpa foto-foto. Secara perlahan-lahan sang surya kembali ke peraduan, penanda sudah saatnya kami pulang. Sungguh indahnya alam Indonesiaku. Semoga di lain waktu saya berkesempatan mengunjunginya lagi.



(Tulisan dibuat berdasarkan pengalaman penulis mengikuti program AKU CINTA INDONESIA 2010 oleh Detik.com, beberapa informasi mungkin mengalami perubahan pada saat di re-publish di blog ini)
Link Asli
Copyright © 2014 My Dream, My Life, My Journey